Paham ateisme juga berkembang dalam
disiplin ilmu sosiologis, Auguste Comte penemu istilah sosiologi, memandang
kepercayaan kepada agama merupakan bentuk keterbelakangan masyarakat,
menurutnya masyarakat berkembang melalui tiga fase teoretis, yakni fase
teologis/ fase fiktif, fase metafisik/ fase abstrak, fase saintifik/ fase
positif. Dalam fase teologis akal manusia menganggap fenomena dihasilkan oleh
kekuatan gaib. Dalam fase metafisik, akal manusia menganggap fenomena
dihasilkan oleh kekuatan-kekuatan abstrak yang menggantikan kekuatan gaib.
Sedangkan dalam fase positif, akal manusia menyadari bahwa tidak mungkin
mencapai kebenaran yang mutlak.
Pemikir ateistik ikut bergema dalam
disiplin psikologi Sigmund Freud (m. 1939), seorang psikolog terkemuka
menegaskan doktrin-doktrin agama adalah ilusi, agama sangat tidak sesuai dengan
realitas dunia. Bukan agama, tetapi hanya karya ilmiah satu-satunya jalan untuk
membimbing kearah ilmu pengetahuan.
Friedrich Nietzsche (1844-1900) dalam
karyanya Thus Spoke Zarathustra, menuliskan “god died, now we want the overman
to live.” Dalam pandangannya agama adalah “membuat lebih baik sesaat dan
membiuskan”, menurutnya agama tidak bisa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan,
dia berkata “seseorang tidak dapat mempercayai dogma-dogma agama dan metafisika
ini jika seseorang memiliki metode-metode yang ketat untuk meraih kebenaran
didalam hati dan kepada seseorang.” Dalam menegaskan perbedaan ruang lingkup
antara agama dan ilmu pengetahuan, Nietzsche menyatakan “antara agama dan sains
yang betul, tidak terdapat keterkaitan, persahabatan, bahkan permusuhan,
keduanya menetap dibintang yang berbeda.” Nietzsche mengkritik agama, ia
merujuk secara lebih khusus kepada agama Kristen.
Selain melahirkan ateisme, epistemologi
barat modern-sekuler telah menyebabkan teologi Kristen menjadi sekuler.
Pandangan hidup kristiani telah mengalami pergeseran paradigma, selain itu jika
pada zaman pertengahan agama Kristen adalah sentral dalam peradaban Barat, maka agama tersebut berubah menjadi pinggiran
pada zaman modern. Jika pada zaman pertengahan, para teolog Kristen
memodifikasi filsafat Yunani-Kuno supaya sesuai dengan teologi Kristen, maka
kini pada abad ke-20 para teolog Kristen memodifikasi teologi Kristen supaya
sesuai dengan peradaban Barat Modern-Sekuler. Mereka menegaskan ajaran
kristiani harus disesuaikan dengan pandangan hidup sains modern yang sekuler.
Mereka membuat penafsiran baru terhadap bible dan menolak penafsiran lama yang
menyatakan ada alam lain yang lebih hebat dan lebih agamis dari ala mini,
mereka membantar peran dan sikap gerejawan yang mengklaim bahwa gereja memiliki
keistimewaan sosial, kekuatan, property khusus. Mereka harus menafsirkan
kembali ajaran agama Kristen supaya tetap relevan dengan perkembangan kehidupan
masyarakat modern yang sekuler.
Comments
Post a Comment