Salah satu persoalan yang mendasar dalam epistemologi adalah bagaimana kita mengetahui ? atau dengan cara apa kita mengetahui ? Syafi’i menjawab persoalan ini dengan bentuk hierarkis, katanya “tak seorangpun yang boleh mengatakan sesuatu itu halal atau haram kecuali dengan ilmu. Dan ilmu itu diperoleh melalui khabar yang ada di Qur’an atau sunnah, ijma’ atau qiyas”.
Terkadang konflik antara sumber ilmu tidak dapat dielakkan, seperti yang mungkin berlaku antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan Sunnah, atau Sunnah dengan Sunnah, apabila konflik menemui jalan buntu, maka dilakukan tarjih. Nah disini persoalan otoritas berperan penting, hadits yang tingkat validitasnya lebih tinggi harus didahulukan dari yang lebih rendah. Andaikan usaha rekonsiliasi tidak memungkinkan, maka metode terakhir adalah nasikh wa al-mansukh. Karena otoritasnya lebih tinggi, maka Al-Qur’an tidak bisa dimansukhkan oleh sunnah, Al-Qur’an hanya dapat dimansukhan oleh Al-Qur’an itu sendiri.
Syatibi menjelaskan, “jika terjadi konflik antara naql (wahyu) dan akal dalam persoalan-persoalan syara’, maka naql harus diposisikan didepan. Berbeda dengan Al-Qur’an yang keseluruhannya dijamin benar, tidak dengan sunnah, hanya yang qath’i al-wurud, dalam hal ini hadits mutawatir yang dijamin kebenarannya. Berbicara mengenai sunnah maka kita tidak bisa melepaskan diri dari Syafi’i.
Usaha Syafi’i menkonseptualisasikan sunnah sebenarnya didorong oleh realitas saat itu, dimana terjadi percampuran antara apa yang disebut sunnah Nabi dengan Sunnah sahabat. Syafi’i kemudian merevolusi makna sunnah dengan hanya membatasinya kepada Rasulullah.
Selain Al-Qur’an dan Sunnah, ijma’ dan qiyas juga berfungsi sebagai sumber ilmu, yang termsuk dalam kategori ijma’ adalah ijma’nya para sahabat. Jadi keputusan ijma’ bersifat mengikat sacara epistemologis, ini berarti bahwa keputusan ijma’ adalah benar dan kita tidak mungkin untuk menentangnya.
Qiyas menempati posisi terakhir sebagai sumber hukum dan ilmu dalam pemikiran Islam, ia merupakan penghubung antara teks dan realitas, dengan qiyas maka teks bisa diperlebar sehingga mencakup seluruh permasalahan yang terjadi.
Untuk penjelasan lebih ditelnya, teman-teman bisa klik disini "Konstruk Epistemologi Fiqh dan Ushul Fiqh I" dan "Konstruk Epistemologi Fiqh dan Ushul Fiqh II"
Untuk penjelasan lebih ditelnya, teman-teman bisa klik disini "Konstruk Epistemologi Fiqh dan Ushul Fiqh I" dan "Konstruk Epistemologi Fiqh dan Ushul Fiqh II"
Comments
Post a Comment