Setelah era Aristoteles, kebudayaan
Helenistik menyebar keseluruh wilayah yang ditaklukan oleh Alexander Agung dari
Yunani sampai Persia. Alexander Agung dari Makedonia merupakan murid dari
Aristoteles. Pada era itu filsafat berkembang dengan cepat, namun tidak ada
filsuf yang sungguh-sungguh besar kecuali Plotinus (205-270 M). Plotinus yang
melanjutkan tradisi filsafat Plato, lahir di Mesir namun setelah itu ia pergi
ke Persia dan melarikan diri dari Persia ke Antioch dan Roma. Dalam konsepnya,
Plotinus membagi alam (realm of intelligible things) menjadi tiga: The One, Intelligence (nous), dan Soul. Ajaran Platinus pada akhirnya dikenal
dengan Neoplatonisme yang pengaruhnya kemudian sangat besar terhadap para
filsuf sesudahnya didalam menggambarkan hierarki dari realitas.
Pada abad pertengahan di Eropa,
epistemologi berada dalam pengaruh Aristoteles dan Platonisme, yang mempertahankan
konsepsi pengetahuan dengan keabadian obyek-obyek sebanyak metode-metode
diskursif (demonstratif teori). Tradisi ini, yang menekankan pada prosedur
deduktif dimana sains harus ditempatkan, kemudian diperkuat dengan catatan Aristoteles
tentang sains sebagai nilai epistemik (epistemic virtue), sebagai kebiasaan
yang memiliki karakteristik kepermanenannya dan kecenderungannya kepada
kebenaran sebagai tandingan opini
belaka. Sains kemudian diartikan pengetahuan yang obyeknya universal dan abadi.
Warisan kedua aliran intelektual ini menggerakkan Eropa pada abad pertengahan
untuk menciptakan teori dari pengetahuan sains yang ketat.
Lalu terjadilah revolusi ilmiah (scientific revolution) di Barat dengan
ditandai dengan adanya zaman Renaisans dan pencerahan. Renaisans yang terjadi
pada abad ke-16 dimaknai sebagai kelahiran kembali peradaban Yunani-Romawi.
Pelopor-pelopornya disebut “humanis”, yang berarti pelajar dan pemuja peradaban
Yunani-Romawi pra Kristen, pada zaman ini filsafat hanya membatasi diri pada
usaha memberikan tafsiran baru pada realitas bendawi dan rohani, yaitu
kenyataan mengenai manusia, dunia, dan tuhan. Sedangkan zaman pencerahan dimulai
pada abad ke-18 di Eropa. Filsafat Barat mencoba meneliti secara kritis
terhadap segala sesuatu yang ada baik dalam negara maupun masyarakat. Orang juga
tidak takut untuk mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk celaan, karena pada
saat itu orang menjadikan akal sebagai sumber kebenaran tertinggi.
Revolusi ilmiah tersebut menyebabkan
epistemologi mengalami perubahan secara substansial. Dorongan untuk memperoleh
ilmu pengetahuan baru tentang dunia menjadi lebih rumit dari pendahulunya yang
membangkitkan teori-teori baru tentang bagaimana cara mempelajari dunia yang
paling efektif. Penalaran secara deduktif dari premis yang baru untuk
mendapatkan kesimpulan serta melalui induksi dari observasi dan eksperimen
untuk merumuskan hipotesis dan teori, merupakan ciri khas epistemologi dari
revolusi ilmiah ini.
Comments
Post a Comment